Cut Nyak Meutia

Dari AcehPedia
Cut Nyak Meutia (Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 - Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Aceh. Dalam perjalanan kehidupannya Cut Nyak Meutia bukan saja menjadi mutiara keluarga dan Desa Pirak, melainkan ia telah menjadi mutiara yang tetap kemilau bagi nusantara.
Perjuangan melawan Belanda dimulai ketika Cut Meutia menikah dengan Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Di Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Chik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Chik Di Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nanggroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Cut Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Cut Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.
Cut Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Cut Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Cut Meutia gugur. 

Daftar isi



1. Kehidupan Awal

1.1 Latar Belakang Keluarga

Cut Meutia dilahirkan dari hasil perkawinan Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan tersebut mereka dikarunia 5 orang anak. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki. Saudara tertua bernama Teuku Cut Beurahim disusul kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasan dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya adalah seorang Uleebalalang di desa Pirak yang berada dalam daerah keuleebalangan Keureutoe.
Daerah Uleebalang Pirak tempat kelahirannya merupakan daerah yang berdiri sendiri karena daerah ini mempunyai pemerintahan dan kehakiman tersendiri sehingga dapat memutuskan perkara-perkara dalam tingkat yang rendah. Saat daerah Uleebalang Pirak di bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud (ayah Cut Meutia) suasana penuh dengan ketenangan dan kedamaian. Sebagai seorang yang bijaksana perhatian Teuku Ben Daud selalu tertumpah pada rakyatnya karena selain sebagai Uleebalang dia juga dikenal sebagai seorang ulama yang sampai akhir hayatnya tidak mau tunduk dan patuh pada Belanda, tidaklah mengherankan jika sifat kesatria itu terbina dalam diri Cut Meutia.

1.2 Masa Muda

Pemberian nama yang indah pada dirinya dengan Meutia bukan saja karena paras wajahnya yang cantik, tetapi bentuk tubuh yang indah menyertainya. Pengakuan keindahaan rupa dan tubuhnya tidak luput dari perhatian seorang penulis Belanda yang mengungkapkan: “Cut Meutia bukan saja amat cantik, tetapi ia juga memiliki tubuh yang tampan dan menggairahkan. Dengan mengenakan pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di Aceh dengan silueue (celana) sutera bewarna hitam dan baju dikancing perhiasan-perhiasan emas di dadanya serta tertutup ketat, dengan rambutnya yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis perhiasan rambut) dengan gelang di kakinya yang melingkar pergelangan lunglai, wanita itu benar-benar seorang bidadari. (H.C Zentgraaff, 1983: 151)
Ketika dewasa Cut Meutia dinikahkan dengan Teuku Syamsarif yang mempunyai gelar Teuku Chik Bintara. Namun Syamsarif mempunyai watak lemah dan sikap hidupnya yang ingin berdampingan dengan Kompeni. Teuku Chik Bintara merupakan anak angkat dari Teuku Chik Muda Ali dan Cut Nyak Asiah, Uleebalang Keureutoe. Daerahnya mencakup Krueng Pase sampai ke Panton Labu (Krueng Jambo Aye) yang pusat pemerintahannya di daerah Kutajrat Manyang yang sekarang terletak 20 km dari kota Lhokseumawe.
Pernikahan mereka tidak bertahan lama. Akhirnya Cut Meutia bercerai dan kemudian menikah dengan adik Teuku Syamsarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong. Setelah itu ia dan suaminya berhijrah ke gunung untuk melawan Belanda

2. Perlawanan Melawan Belanda

2.1 Perjuangan dengan Teuku Chik Tunong

Awal pergerakan dimulai pada tahun 1901 dengan basis perjuangan dari daerah Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara) di bawah komando perang Teuku Chik Tunong. Mereka memakai taktik gerilya dan spionase dengan menggunakan untuk prajurit memata-matai gerak-gerik pasukan lawan terutama rencana-rencana patroli dan pencegatan. Taktik spionase dilakukan oleh penduduk kampung yang dengan keluguannya selalu mendapatkan informasi berharga dan tepat sehingga daerah lokasi patroli yang akan dilalui pasukan Belanda dapat segera diketahui.
Pada bulan Juni 1902, berdasarkan informasi dari spionasenya bahwa pasukan Belanda akan melakukan operasi patroli dengan kekuatan 30 orang personel di bawah pimpinan sersan VanSteijn Parve. Di dalam perlawanan tersebut pasukan Belanda mengalami kekalahan yang cukup besar yaitu matinya seorang pimpinan dan 8 orang serdadu serta banyak pasukan yang cidera berat dan ringan, sedang di pasukan muslim syahid 10 orang.
Kemudian pada bulan Agustus 1902, pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim, Blang Nie. Strategi yang dipakai oleh pasukan Aceh untuk mencegat pesukan Belanda adalah dengan menempatkan pasukannya di daerah yang beralang-alang tinggi dekat jalan tidak jauh dari Meunasah Jeuro sehingga memudahkan para pejuang menyintai dan sekaligus melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Di dalam penyerangan ini pasukan Belanda lumpuh total dan para pejuang muslim dapat merebut 5 pucuk senapan.
November 1902 diisukan oleh salah seorang pejuang muslimin (Pang Gadeng) bahwa pasukan Teuku Chik Tunong akan mengadakan kenduri yang bertempat di Gampong Matang Rayeuk di seberang sungai Sampoiniet. Mendapat kabar itu, Belanda melakukan perjalanan untuk menggempur pasukan yang tengah kenduri dan dipimpin oleh Letnan RDP DE Cok bersama 45 orang personelnya. Di dalam perjalanan, pasukan Belanda mendapatkan serangan jarak dekat yang dahsyat dari pasukan Chik Tunong sebagai akibat dari proses jebakan kabar burung yang telah disusun oleh Cut Nyak Meutia. Dalam penyerangan itu, Letnan De Cok dan 28 prajuritnya tewas serta 42 pucuk senapan diperoleh kaum muslimin.
Selain itu, pasukan Cut Meutia juga sering melakukan sabotase terhadap kereta api, penghancuran hubungan telepon hingga jalur perhubungan untuk mengangkut logistik pasukan Belanda seperti di Lhoksukon dan Lhokseumawe. Tindakan ini sebagai tindakan balas dendam setelah Belanda melakukan penyerangan ke Desa Blang Paya Itiek yang merupakan akibat dari pengkhianatan Pang Ansari ( dari Blang Nie) dimana pasukan Belanda menyerang pasukan Sultan Alaidin Mahmud Daudsyah sehingga Sultan dan pasukannya harus mundur diri ke Menasah Nibong Payakemuek.
Selanjutnya tanggal 9 Januari 1903, Sultan bersama pengikutnya seperti Panglima Polem Muhammad Daud, Teuku Raja Keumala dan pemuka kerajaan lainnnya telah menghentikan perlawanan dan menyatakan turun dari usaha bergerilya melakukan penyerangan pasukan Belanda. Atas dasar itu, Cut Nyak Meutia bersama suami pun turun gunung pada tanggal 5 Oktober 1903. Atas persetujuan komandan datasemen Belanda di Lhokseumawe, HNA Swart, Teuku Tunong dan Cut Meutia dibenarkan menetap di Keureutoe tepatnya di Jrat Manyang dan akhirnya pindah ke Teping Gajah daerah Panton Labu.
Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad dan Cut Meutia adalah sebagai akibat dari peristiwa di Meurandeh Paya sebelah timur kota Lhoksukon pada tanggal 26 Januari 1905. Peristiwa ini diawali dengan terbunuhnya pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan berteduh di Meunasah Meurandeh Paya. Pembunuhan atas pasukan Belanda ini merupakan pukulan yang sangat berat bagi Belanda. Di dalam penyelidikan Belanda, didapat bahwa Teuku Chik Tunong terlibat dalam pembunuhan itu. Maka dari itu, Teuku ditangkap dan dihukum gantung. Namun pada akhirnya berubah menjadi hukum tembak mati.
Pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi pantai lhoksuemawe dan dimakamkan di Masjid Mon Geudong. Sebelum dihukum mati, Teuku Tunong mewasiatkan agar Pang Nanggroe yang merupakan sahabat perjuangannya untuk menikahi Cut Nyak Meutia serta menjaga anak-anaknya.

2.2 Perjuangan dengan Pang Nanggroe

Sesuai amanah dari almarhum suaminya, Cut Meutia menerima lamaran Pang Nanggroe. Dan dengan beliau, Cut Meutia melanjutkan perjuangan melawan Belanda dengan memindahkan markas basis perjuangan ke Buket Bruek Ja. Pang Nanggroe mengatur siasat perlawanan melawan patroli marsose Belanda bersama dengan Teuku Muda Gantoe. Penyerangan Cut Meutia dan Pang Nanggroe dimulai dari hulu Kreueng Jambo Ayee, sebuah tempat pertahanan yang sangat strategis karena daerah tersebut merupakan daerah hutan liar yang sangat banyak tempat persembunyian. Pasukan muslimin melakukan penyerangan ke bivak-bivak Belanda dimana banyak pejuang muslim yang ditahan.
Pada tanggal 6 Mei 1907, pasukan Pang Nanggroe melakukan penyerbuan secara gerak cepat terhadap bivak yang mengawal para pekerja kereta api. Dari hasil beberapa orang serdadu Belanda tewas dan luka-luka. Bersama itu pula dapat direbut 10 pucuk senapan dan 750 butir peluru serta amunisi.
Pada tanggal 15 Juni 1907, pasukan Pang Nanggroe menggempur kembali sebuah bivak di Keude Bawang (Idi), pasukan Belanda mengalami kekalahan dengan tewasnya seorang anggota pasukan dan 8 orang luka-luka.
Taktik penyerangan Cut Meutia yang lain pula adalah jebakan yang dirancang dengan penyebaran kabar bahwa adanya acara kenduri di sebuah rumah dengan mengundang pasukan Belanda. Rumah tersebut telah diberikan jebakan berupa makanan yang lezat, padahal pondasi rumah itu telah diakali dengan potongan bambu sehingga mudah diruntuhkan. Pada saat pasukan Belanda berada di dalam rumah tersebut, rumah diruntuhkan dan pasukan Cut Meutia menyerang secara membabibuta.
Penyerangan pasukan Cut Meutia juga terjadi pada rel kereta api sebagai usaha untuk memutuskan jalur distribusi logistik dan jalur kereta apinya. Di pertengahan tahun 1909 sampai Agustus 1910 pihak Belanda atas petunjuk orang kampung yang dijadikan tawanan telah mengetahui pusat pertahanan pasukan Pang Nanggroe dan Cut Nyak Meutia. Beberapa penyerangan dilakukan, namun pasukan Cut Meutia yang selalu berpindah tempat membuat Belanda susah untuk menangkapnya. Beberapa penyerangan dilakukan di daerah Jambo aye, Peutoe, Bukit Hague, Paya Surien dan Matang Raya. Namun pada tanggal 25 September 1910, saat terjadi penyerangan di daerah Paya Cicem, Pang Nanggroe terkena tembakan Belanda sehingga meninggal dunia setelah mewasiatkan kepada anaknya Teuku Raja Sabi untuk mengambil rencong dan pengikat kepala ayahnya dan menjaga ibundanya Cut Nyak Meutia. Makam Pang Nanggroe terletak di samping Mesjid Lhoksukon.

2.3 Cut Meutia Memimpin Pasukan

Setelah Pang Nanggroe syahid, pasukan dipimpin langsung oleh Cut Meutia dan basis pertahanan dipindahkan ke daerah Gayo dan Alas bersama pasukan yang dipimpin oleh Teuku Seupot Mata. Pada tanggal 22 Oktober 1910, pasukan Belanda mengejar pasukan Cut Meutia yang diperkirakan berada di daerah Lhokreuhat. Esoknya pengejaran dilakukan kembali ke daerah Krueng Putoe menuju Bukit Paya sehingga membuat pasukan Cut Meutia semakin terjepit dan selalu berpindah antar gunung dan hutan belaBelanda yang sangat banyak.
Dalam pertempuran tanggal 25 Oktober di Krueng Putoe, pasukan Cut Meutia menghadapi serangan Belanda. Di sinilah Cut Meutia syahid bersama pasukan muslim yang lain seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teungku Seupot Mata dan Teuku Mat Saleh. Menjelang gugurnya, Cut Meutia mewasiatkan kepada Teuku Syech Buwah untuk tidak lagi menghadapi serangan belanda, taktik selanjutnya adalah mundur sejauh mungkin dan menyusun serangan kembali, karena posisi mereka sudah sangat terjepit kali ini. Cut Meutia juga menitipkan anaknya untuk dicari dan dijaga. 

Sumber:

Awal Mula Ramli Yusuf (Ayah Li) Mengindap Gangguan Jiwa


Pascaperang dan tsunami di Aceh, pengidap gangguan jiwa mencapai ribuan orang. Inilah layanan kesehatan yang tidak memadai di provinsi kaya uang. Kontras menelusuri apa yang dialami warga yang kurang beruntung itu.

Ramli Yusuf (45 Tahun), tak pernah bermimpi dalam sejarah hidupnya mengidap gangguan jiwa. Ketika usianya meranjak dewasa, pria ini adalah striker sepak bola. Tatapan matanya tajam. Bola mata itu berputar ke kiri-kanan. Layaknya ingin membagi bola pada teman, dan membidik kelemahan penjaga gawang lawan dan mencetak gol. Dia bermain untuk klub Kijang Putra Kecamatan Paya Bakong. Klub itu satu di antara sekian banyak klub kecamatan yang “sangar” dan kerap memboyong piala.

Bahkan karena kelihaiannya dalam memainkan si kulit bundar tak jarang ia menjadi pemain bayaran dalam berbagai even turnamen bola kaki. Namun, itu semua hanya tinggal kenangan manis yang takkan mungkin kembali. Semua cita-cita anak kedua dari empat bersaudara untuk menjadi pemain tim nasional Indonesia pupus sudah.

Itulah nasib pria warga Desa Tanjong Beurunyong, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara. Dia tak pernah bermain bola lagi. Saban hari hanya bisa mengembuskan gumpalan asap kretek sembari meratapi nasibnya. Pria tampan ini telah dipasung oleh keluarganya 21 tahun silam. Menurut Erni, adik kandung Ramli, menceritakan kepada Kontras meski mengalami gangguan jiwa, naluri lelaki abang kandungnya itu berjalan normal.

“Suatu hari beberapa teman saya datang berkunjung ke rumah.  Saat itu abang saya hanya memandangi dari balik jendela tempatnya di pasung. Matanya tertarik pada teman-teman saya yang menurut Bang Ramli sangat cantik,” kisah Erni. Lalu, ketika teman-temannya pulang,  Ramli langsung memanggil Erni dan menanyakan pertanyaan konyol dan menggelikan.

“Dek, ngen kah item meucewek ngon lon han (Dek, teman kamu mau ngak pacaran sama abang?)” tutur Erni menirukan ucapan abangnya kala itu. Gubuk tempat Ramli dipasung hanya berukuran 3 x 4 meter. Udaranya pengab. Tidak ada udara yang mencukupi. Rambut pria itu mulai gondrong. Kumisnya tidak teratur.

Cerita lainnya diutarakan M Husen, abang kandung Ramli. Beberapa tahun lalu ia pernah dilepas dari pasungannya dan itu belangsung lebih dari empat tahun. Namun, terpaksa dipasung kembali karena selain merugikan keluarga, ia juga mengganggu ketentraman banyak orang.

“Saat bebas, kerjanya hanya nongkrong ngebon di warung kopi hingga tagihannya mencapai Rp 400 - 500 ribu per bulannya, belum lagi ulahnya yang suka mengusili warga,” ungkap M Husen pilu. Lanjut Husen, pernah ia menyuruh salah seorang pemuda yang melintas untuk berhenti hanya dengan maksud mengambil paksa jam tangan yang melingkar di tangannya. “Jelas pemuda itu tidak memberi, alhasil bogem mentah mendarat empuk di wajah lelaki tak berdosa itu. Akibatnya, keluarga terpaksa meminta maaf dan menempuh jalur damai,” kenangnya sambil menggelengkan kepalanya.

Sambil menerawang menatap ke atas langit-langit rumah orang tuanya, Husen mencoba berkisah, dulunya sekitar tahun 1980-an, Ramli adalah tipikal pemuda tampan dengan wajah rupawan yang digemari kaum hawa.

Bahkan tak jarang banyak wanita yang menyebut wajahnya menyerupai David Beckam, playmaker (pemain gelandang) asal Inggris. Dengan hanya menyandang ijazah SD, ia termasuk pekerja keras sebagai salah seorang buruh di PTP V Krueng Pase- sekitar 10 kilometer dari tempat tinggal Ramli. Namun, semuanya sirna pada 1989, karena dari situlah semua bencana itu bermula.

Menurut Husen, saat masih menjadi pemain bayaran, Ramli pernah mendapat honor sebesar Rp 10 ribu, namun uang itu hilang. Akhirnya, ia rela mencari uang hasil jerih payahnya itu berhari-hari hingga jatuh sakit. “Pihak kantor mengetahui bahwa Ramli merupakan salah seorang striker handal di Club Kijang Putra Paya Bakong, dan mereka (pihak PTP V) memberi angin surga dengan menawari adik saya untuk bergabung di club mereka. Tawaran itu membuat adik saya berangan tinggi terbang ke awan, namun pada kenyataannya impian tak seindah fakta yang ada. Pihak PTP V membatalkan tawaran itu secara sepihak, akibatnya adik saya menjadi uring - uringan dan ia mencoba menenangkan pikirannya dengan mengonsumsi narkoba jenis ganja,” ungkap Husen.

Kondisi itu terus berlangsung lama hingga Ramli berhenti bekerja dan menghabiskan waktunya hanya dengan melamun dan terjerumus untuk menghisap ganja. Tak lama berselang, ia mulai berbicara sendiri dan sesekali tertawa bahkan menangis.  “Itulah awal mula kehancuran hidupnya dan itu terjadi sebelum ia sempat membina rumah tangga,” ujar Husen. Karena suka mengamuk dan mengambil harta benda milik orang lain, akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk memasungnya dan itu berlangsung dari 1989 hingga akhir 2002. Tepat tanggal 1 Januari 2003, Ramli dibawa ke RSJ Banda Aceh untuk menjalani perawatan intensif hingga 1 Juni 2004. “Pihak RSJ mengizinkan kami untuk membawanya pulang karena sesuai hasil pemeriksaan, kondisi kejiwaan adik saya lumayan stabil,” ungkap Husen.

Sepulang menjalani perawatan di RSJ, pihak keluarga memutuskan untuk melepaskan pasungannya dan ia pun bebas pergi seperti warga lainnya selama beberapa tahun. Namun, itu hanya berlangsung sekejab karena setelah itu ia kembali mengamuk dan mengganggu warga. Atas pertimbangan ketentraman warga desa, pihak keluarga memutuskan kembali memasungnya pada 1 Juni 2009 lalu.

Sehari-hari di gubung tempat pemasungan, Ramli ditemani ibu kandungnya, Hamidah (80 Tahun). Wanita renta inilah yang setia menemani Ramli berbicara. Mengajak Ramli berdiskusi tentang banyak hal.  Hamidah berharap putranya pulih kembali. Sesekali kesadarannya pulih. Ramli meminta dibelikan tabloid olahraga. Maklum, dia mantan striker. Sebenarnya, ia sendiri tidak paham dengan isi yang tertera di koran, namun ia hanya suka melihat-lihat sambil mengoceh tak tentu.

Dalam gubuk itu, ia hanya duduk berdiam diri dengan sebelah kaki yang terpasung kayu sepanjang 60 centimeter, sehelai tikar kumal dan bantal lusuh menjadi teman setia. Saat ini pihak keluarga hanya bisa berpasrah karena telah kehabisan dana untuk membawa Ramli berobat.  Keluarga tidak memiliki lagi uang untuk berobat. Bantuan pemerintah pun tak kunjung tiba. Padahal, UU 23/2002 tentang Pokok-pokok kesehatan mengamanahkan bahwa orang yang mengidap gangguan jiwa tidak boleh dipasung. Bahkan diharamkan. Pemasungan bukan solusi penyembuhan. Pemasungan hanya membuat penderita semakin menderita, tenggelam dan larut dalam pikirannya yang semakin kacau. Untuk Aceh Utara, informasi yang dihimpun Kontras, sebanyak 20 masyarakat yang di pasung di berbagai kecamatan dalam kabupaten itu. Penyebabnya pun variatif, ada yang mengidap gangguan jiwa karena kecanduan narkoba, ada pula karena himpitan ekonomi, putus cinta dan ditinggal mati keluarga ketika tsunami terjadi di Aceh, 2004 silam.  Sebanyak 120 penderita gangguan jiwa di seluruh kabupaten/kota saat ini dipasung oleh keluarganya di Aceh. Angka yang sangat memprihatinkan.

Kalangan DPRK Aceh Utara, mendesak Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, untuk membuat program mendirikan rumah sakit jiwa. Jika melihat luar areal Aceh, idealnya Aceh membutuhkan dua rumah sakit jiwa lagi, yaitu di berada di Lhokseumawe untuk kawasan timur, dan barat-selatan idealnya berada di Meulaboh, Aceh Barat.

“Aneh sekali, Aceh hanya memiliki rumah sakit jiwa satu. Provinsi lain, rumah sakit jiwa sampai lima seperti di Jawa Tengah. Kita masih kurang memperhatikan soal kesehatan,” kata anggota DPRK Aceh Utara, Muhammad HR. Hal senada disebutkan oleh anggota DPRK Lhokseumawe, Amir Gani. Politisi Partai Demokrat Lhokseumawe ini menyebutkan, seharusnya rumah sakit jiwa memang diberdirikan di Aceh. Ini untuk menangani masyarakat yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga cerita mirisnya dipasung tidak terdengar lagi di seluruh provinsi paling ujung Pulau Sumatera itu.

Penanganan masyarakat yang mengidap gangguan jiwa pun belum maksimal. Hanya ada rumah sakit umum ditambah satu atau dua orang dokter spesialis syaraf di semua daerah. Di RSUD Cut Mutia, hanya ada satu dokter spesialis syaraf. Tentu, tidak mungkin melayani ribuan orang yang mengidap gangguan jiwa.

Ditambah lagi angka gangguan jiwa di Aceh Utara mencapai 2.212 orang. Angka ini dihimpun Dinas Kesehatan Aceh Utara sejak akhir Desember 2009-Januari 2010. “Selain perlu RSJ. Kita harus menyediakan dokter spesialis syaraf di rumah sakit daerah. Ini untuk memberi pelayanan yang baik,” kata Muhammad.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Aceh Utara, Muhammad Hasan, membantah bahwa layanan untuk pasien gangguan jiwa tidak maksimal. Dia menyebutkan, pihaknya telah memberikan pendidikan khusus bagi satu orang dokter umum, dan dua tenaga medis di 27 Puskesmas di Aceh Utara. “Orang mengalami gangguan jiwa memang harus ditangani khusus. Makanya, kami didik dokter umum dan tenega medis, teknik dasar penanganan pasien gangguan jiwa,” kata Hasan.

Lebih jauh dia menyebutkan, pihaknya juga mengunjungi pasien yang dipasung. Memberikan obat per satu minggu sekali. Plus, melatih keluarga pasien cara meramu obat dan meminum obat yang tepat. Hasan mengakui, dinas yang dipimpinnya tidak memiliki psiater untuk melayani masyarakat gangguan jiwa. Namun, kata Hasan, pihaknya bekerjasama dengan ExxonMobil menyediakan psiater dari Medan, Sumatera Utara. Psiater itu datang ke Aceh Utara per bulan. Lalu, bagaimana biaya pengobatan? “Untuk pasien gangguan jiwa, semuanya gratis. Tapi, masalahnya, masyarakat kita tidak mau melaporkan ke dinas, kalau ada saudaranya yang mengidap gangguan jiwa. Alasannya malu. Ini sangat menyulitkan kami,” kata Hasan. Ini pula menjadi penyebab, sehingga data orang yang dipasung pada Dinkes Aceh Utara hanya sebanyak tiga orang. Padahal, sumber Kontras menyebutkan jumlahnya mencapai 20 orang.

Hasan menambahkan, pihaknya tidak mengirimkan ke RSJ Banda Aceh, karena kapasitas rumah sakit itu sudah tidak mampu menampung pasien baru. Sehingga, penanganan terpaksa dilakukan ditingkat kabupaten. Saat ini, RSJ Banda Aceh, berkapasitas maksimal 350 orang. Sedangkan jumlah pasien yang dirawat sudah melebihi kapasitas.

Selain itu, Hasan menyebutkan perlu keterlibatan lintas sektor untuk menekan angka gangguan jiwa di Aceh. “Misalnya, perlu turun Disperindagkop, setelah pasien sembuh. Harusnya diberikan modal usaha, sehingga mereka tidak lagi mengalami tekanan ekonomi,” pungkas Hasan. Untuk seluruh Aceh, data dari RSJ Banda Aceh, jumlah penderita mencapai 46.000 orang. Kontras, menghimpun data penderita gangguan jiwa dari berbagai kabupaten/kota di Aceh.

--
Tabloid KONTRAS  Nomor : 527 | Tahun XI  4 - 10  Februari 2010

Sejarah Konflik Aceh Part 2

Pada tanggal 16 Juni 1948, Soekarno memohon kepada rakyat Aceh agar membantu Indonesia agar pemerintahan yang baru itu bisa terus berjalan. Soekarno bersumpah sambil menangis bahwa Aceh akan diberi kebebasan untuk menjalankan pemerintahan sendiri termasuk dalam hal penegakan syariat islam. Sebenarnya Abu Beureu’eh sudah meminta agar perjanjian itu ditulis, tetapi Soekarno mengiba agar Abu Beureu’eh percaya pada sumpahnya sebagai sesama muslim. Rakyat Aceh kemudian mengumpulkan dana untuk membeli pesawat RI-1 dan RI-2 dengan harga US$ 120.000 per unit. Pesawat-pesawat inilah yang kemudian digunakan para tokoh-tokoh nasional untuk menembus blokade Belanda guna melobi dunia internasional untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan kepada Republik Indonesia. Dan ketika Yogyakarta dikembalikan kepada Indonesia, pemerintah Indonesia hampir tidak mampu mengongkosi dirinya sendiri, demi menjalankan roda pemerintahan, rakyat Aceh kembali mengirimkan bantuan untuk menjalankan pemerintahan berupa uang, alat-alat perkantoran, dan obat-obatan. Di tahun 1948, setelah menyumbangkan 2 pesawat terbang, masyarakat Aceh memberikan uang tunai sebesar US$ 500.000 kepada pemerintah Indonesia plus sumbangan sukarela tahap dua untuk membiayai perwakilan Indonesia di Singapura dan pendirian Kedutaan Besar di India.

Tidak hanya itu, untuk mempertahankan indonesia dari serangan belanda. Rakyat Aceh ikut mempertahankan Pangkalan Brandan dari serbuan Belanda. Empat orang ulama Aceh menyerukan jihad kepada Belanda, seruan itu ditandatangani oleh Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, Teungku Muhammad Daud Beureu’eh, Teungku Haji Jafar Shiddiq Lamjabat dan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri. Seruan itu berbunyi:

“Perang Dunia II yang maha dahsyat telah tamat. Sekarang di barat dan di timur oleh empat kerajaan yang besar sedang diatur perdamaian dunia yang abadi untuk keselamatan makhluk Allah. Dan Indonesia tanah tumpah darah kita telah memaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno.
Belanda adalah satu kerajaan yang kecil serta miskin. Satu negerinya yang kecil, lebih kecil dari negeri Aceh yang hancur lebur. Mereka telah bertindak melakukan pengkhianatan kepada tanah air kita Indonesia yang sudah merdeka untuk dijajah kembali. Kalau maksud jahanam itu berhasil, maka pastilah mereka akan memeras segala lapisan rakyat dan segala kekayaan yang telah kita kumpulkan selama ini akan musnah. Mereka akan memperbudak rakyat Indonesia dan menjalankan usaha untuk menghapus agama islam kita yang suci serta menindas dan menghambat kemuliaan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Menurut keyakinan kami, perang ini adalah perjuangan suci yang disebut Prang Sabil. Maka percayalah wahai bangsaku, bahwa perjuangan ini adalah perjuangan sumbangan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh almarhum Teungku Chik Di Tiro dan pahlawan kebangsaan yang lain.”


Seruan ini kemudian membangkitkan semangat rakyat untuk melawan Belanda, perlawanan sengit ini membuahkan hasil sehingga Aceh tidak dapat dikuasai Belanda.

Pada tanggal 8 Agustus 1950, diadakan sidang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta. Sidang memutuskan bahwa wilayah Indonesia dibagi dalam 10 daerah provinsi, dan Provinsi Aceh dileburkan dan berada di bawah Provinsi Sumatera Utara. Padahal berdasarkan ketetapan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia No 8/Des/WKPH bertanggal 17 Desember 1949 yang ditandatangani di Banda Aceh oleh Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Syafruddin Prawiranegara bahwa Aceh adalah sebuah provinsi dengan Teungku Muhammad Daud Beureu’eh sebagai Gubernur Militernya.
Teungku Muhammad Daud Beureu’eh 

Keputusan pemerintah itu membuat rakyat Aceh merasa diperlakukan tidak adil, mengingat apa yang telah diberikan rakyat Aceh kepada Indonesia, hal itu sangat menyakitkan, rakyat Aceh merasa dikhianati oleh pemerintah. Kemudian rakyat dan ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menyatakan bahwa Aceh adalah bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo pada tanggal 20 September 1953. hal ini ditandai dengan dikeluarkannya maklumat Negara Islam Indonesia oleh Teungku Muhammad Daud Beureu’eh. Maklumat tersebut berbunyi:

Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953

Setelah memimpin perlawanan selama kurang lebih sembilan tahun, akhirnya kesepakatan damai dicapai melalui “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang diprakarsai oleh Pangdam I Iskandar Muda Kolonel M. Jasin. Aceh diberikan status Daerah Istimewa untuk menjalankan pendidikan, agama dan adat istiadat berdasarkan asas islam. Dengan demikian perlawanan Darul Islam di Aceh berakhir dengan damai.

Tetapi kemudian status Daerah Istimewa yang disandang Aceh ternyata tidak berarti apa-apa, gelar Daerah Istimewa tidak lebih hanya sekedar omong kosong karena pemerintah tidak pernah merealisasikannya.

Sejarah Konflik Aceh

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Diawal-awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Deli, Pedir, Pasai, dan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.

Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:

1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.

Johan Harmen Rudolf Köhler
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi'sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.

Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.

Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Dr. Christiaan Snouck Hurgronye
Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:

1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
3. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.

Hendrikus Colijn

Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
 Christoffel
 Van Heutz

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo' Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.

panglima polem

Permaisuri Sultan Aceh foto diambil setelah permaisuri diculik


sultan menyerah kepada belanda setelah keluarganya diculik
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
pembantaian di kuta reh

Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.

Cut Nyak Dhien ketika ditangkap

Teknik Persidangan

Sidang adalah forum formal bagi pengambilan keputusan yang akan menjadi kebijakan dalam sebuah organisasi (berstruktur dan mempunyai susunan hierarkis) dengan diawali oleh konflik.
Rapat adalah forum yang bersifat formal bagi pengambilan kebijakan organisasi dalam bentuk keputusan, kesepakatan atau lainnya tanpa harus didahului oleh konflik.

Musyawarah adalah forum informal sebagai sarana pengambil keputusan, kesepakatan, penyebaran informasi atau lainnya dalam sebuah institusi tanpa harus didahului oleh konflik

Macam-macam persidangan
1. Sidang pleno : sidang yang dihadiri oleh seluruh peserta sidang. Termasuk kedalam kategori sidang ini adalah sidang pendahuluan yang biasanya untuk menetapkan jadwal, tata tertib dan pemilihan presidium sidang. Sidang pleno biasanya di tengah persidangan untuk mengesahkan laporan pertanggungjawabanyang dipimpin oleh presidium sidang.

2. Sidang paripurna, biasanya berisi tentang pengesahan hasil-hasil sidang.

3. Sidang komisi adalah sidang yang diikuti oleh leserta terbatas (anggota komisi), sidang ini diadakan untuk pematangan materi sebelum diplenokan, dipimpin oleh pimpinan komisi.

4. Sidang sub komisi, sidang ini lebih terbatas dalm sidang komisi guna mematangkan materi lanjut.

Macam-macam sidang dilihat dari jabatan peserta dalam sebuah organisasi;
• Sidang Presidium
• Sidang BPH ( Badan Pengurus Harian )
• Sidang Badan Koordinasi.

Macam-macam Rapat

Rapat kerja (Raker), Munas, Muktamar, Mubes, Musda dan lain sebagainya.

Unsur-unsur persidangan
1. Tempat atau ruang sidang
2. Waktu dan acara sidang
3. Peserta sidang
4. Perlengkapan sidang
5. Tata tertib sidang
6. Pimpinan dan sekretaris

Istilah-istilah dalam persidangan
• Skorsing adalah penundaan acara sidang untuk sementara waktu atau dalam waktu tertentu pada waktu sidang berlangsung

• Lobbying adalah penentuan jalan tengah atas konflik dengan skorsing waktu untuk menyatukan pandangan melalui obrolan antara dua pihak atau lebih yang bersebrangan secara informal.

• Interupsi adalah memotong pembicaraan, ditempuh dengan menggunakan kata “interupsi” yang pada hakekatnya meminta kesepakatan untuk berbicara.

Macam-macam interupsi

• Interupsi point of order : meminta kesempatan untuk bicara atau dipergunakan untuk memotong pembicaraan yang dianggap menyimpang dari masalah.
• Interupsi point of information : memberikan atau meminta penjelasan atas apa yang telah disampaikan
• Interupsi point of clarification : meluruskan permasalahan agar penyimpangan tidak semakin menajam
• Interupsi point of prevelage : tidak setuju atas pemojokan, penyinggungan persoalan pribadi.

Penggunaan palu dalam rapat
Dalam rapat, penggunaan palu sangat penting sekali, pimpinan rapat harus memahami tata cara penggunaan palu. Karena, kesalahan penggunaan atau pengetukan palu sidang akan mengacaukan situasi sidang.

Macam-macam penggunaan palu rapat
1 kali ketukan berarti
• Mengesahkan hasil rapat
• Pengalihan palu sidang

2 kali ketukan
• Skorsing

3 kaliketukan
• Pembukaan rapat
• Penutupan rapat

Berkali-kali sedang
• Peringatan atau meminta perhatian peserta rapat

Sumber: wordpress

Apa Itu Organisasi

Secara sederhana organisasi dapat diberi pengertian sebagai suatu system yang saling berpengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Lengkapnya dapat dinyatakan sebagai suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusia yang saling berinteraksi menurut pola tertentu, sehingga setiap anggotanya memiliki fungsi dan tugas masing-masing, utamanya lagi kesatuan tersebut mampunyai batas-batas yang jelas sehingga dapat dipisahkan secara tegas dari lingkungannya (Lubis dan Martin,1989).

Oleh sebab itu berbagai macam organisasi terbentuk sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Problematika mendasar yang sering muncul dalam organisasi adalah konsistensi dari tujuan organisasi.
Unsur-unsur dasar dalam organisasi:
1. Struktur
2. Aturan (AD/ART, dll)
3. Anggota
4. Tempat (sekretariat)

Unsur-unsur yang terlibat dalam manajemen adalah:
5. MEN (manusia)
6. MATERIALS (bahan atau informasi) materi dan energi
7. MACHINES (peralatan)
8. METHODS (metode/cara kerja)
9. MONEY (uang/biaya)

MANAJEMEN DIRI
Proses manajemen diri hanya dapat dilakukan dengan mengenal diri sendiri dengan cara obyektif mengenal diri, Hargai diri sendiri, jangan memusuhi diri sendiri, berfikir positif dan rasional. Karena pada dasarnya manusia adalah pemimpin yang harus mampu memanajemen diri sendiri ”kullukum roo’in wakullukum mas’ulun an ro’iyyatihi”. Aspek-aspek manajemen diri adalah:

1. Integritas pribadi
Setiap individu manusia merupakan subyek/pelaku, tentunya diharapkan mampu menggerakkan organisasi karena eksistensi organisasi akan sangat bergantung pada kualitas indovidu sebagai bagian dari komponen organisasi. Individu yang dihrapkan adalah seorang aktivis dengan kemampuan mengintegrasikan kualitas personal melalui proses aktualisasi diri sehingga tercipta sinergisitas organisasi secara optimal dan profesional. Profesionalitas organisasi akan terwujud jika setiap individu mempunyai komponen-komponen kompetensi sebagai berikut:
Kompetensi spesialis yaitu kemampuan dan keterampilan menggunakan perangkat (software dan hardware) dengan sempurna serta mengorganisasikan di dalam menangani masalah.

Kompetensi metodik yaitu kemampuan mengumpulkan, menganalisa informasi, berorientasi tujuan kerja/organisasi dan bekerja secara sistematis.

Kompetensi individu yaitu kemampuan untuk berinovatif, dapat dipercaya serta mempunyai motivasi-kreatif.

Kompetensi sosial yaitu kemampuan berkomunikasi dengan bekerja secara kelompok.
Integritas tinggi sebagai manusia sejati (al insan kamil) adalah ketika individu mampu menempatkan kegiatan mental dan fisiknya menjadi satu kesatuan yang utuh. Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri limashlahatil ummah.

2. Pengetahuan/knowledge
Sejak masa aufklarung terjadi pergeseran nilai dan masa menuju abad pengetahuan yang rasional. Pada masa ini tumbuh pandangan humanisme yaitu kepercayaan terhadap kemampuan akal sebagai jalan menuju kesatuan humanitas, memecahkan segala misteri alam dan kehidupan sosial (Tilaar, 2005). Bloomingnya telah tercatat oleh sejarah berupa revolusi industri di Prancis. Proses manajemen diri akan berjalan sempurna bila ditunjang oleh pengetahuan yang cukup, dengan pengetahuan manusia akan mempunyai pijakan.
Pengetahuan dapat meningkatkan power seseorang, demikian juga dalam hal berorganisasi pun diperlukan individu yang mempunyai power dan right untuk mampu mentransfer beberapa kewenangan kepada pihak lain bahkan untuk mempengaruhi (influences) orang lain.

3. Kepekaan sosial
Kehidupan manusia akan berarti apabila telah dinyatakan dalam kerja/amaliah konkret. Hidup yang penuh arti adalah hidup yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna yang di dalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai manusia yang utuh, aspek manajemen diri harus mampu berimplikasi pada kehidupan sosial masyarakat. Sehingga baginya tidak terjadi dikotomi antara kerja individu dengan kerja komunal, tidak membedakan kegiatan untuk dirinya maupun untuk masyarakat. Akan lebih ideal jika kerja individu dapat berimplikasi pada kemanfaatan atau kemaslahatan umum.

Sumber: wordpress

Dunia Gelap Tanpa Ilmu

Bayangkan! Jika kita sedang berjalan dalam kegelapan. Jalannya pelan, tangan kita akan meraba ke sana-kemari. Pasti, kaki kita sering terantuk batu atau benda lain.
Hidup kita juga akan seperti itu, apabila kita tidak memiliki ilmu. Sebab, di dunia ini tersimpan banyak rahasia Allah Swt. jadi, kalau kita punya ilmu, hidup ini akan terasa nikmat. Bagaikan berjalan di bawah cahaya terang benderang.

Salah jalan
Tanpa ilmu, hidup kita akan sering salah jalan.

Sumber ilmu
Kita dapat mencari ilmu dari Al-Quran dan Al-Hadis. Ilmu juga dapat kita temukan dari alam raya ini, seperti Bumi, Langit, hewan, tumbuhan, dan manusia. Dari sanalah, kita dapat memperoleh ilmu pengetahuan.

Tidak boleh sombong
Kalaulah air lautan dijadikan tinta, tumbuhan dijadikan pena. Semua tidak akan cukup untuk menuliskan ilmu Allah Swt. Sebab ilmu-Nya sangat luas. Nah, kalau kita punya ilmu, jangan sombong! Ilmu kita hanya setitik saja dibandingkan dengan ilmu Allah Swt. yang Mahapintar!

SI ANAK BATU
Ada murid pesantren yang sudah putus asa untuk belajar. Dia memilih pulang ke kampungnya. Di tengah perjalanan, turun hujan. Dia pun berteduh di pohon yang rindang. Lalu, dia memperhatikan batu yang berlubang karena tetesan air. “Waaah, ternyata batu dapat hancur oleh air,” bisik hatinya. “Mungkin aku juga dapat seperti air ini. Aku dapat memahami pelajaran dengan baik jika aku rajin dan sabar.” Akhirnya, murid itu kembali lagi ke pesantren. Setelah bertahun-tahun belajar, dia menjadi seorang ulama yang hebat. Dia pun dijuluki Ibnu Hajar, artinya si Anak Batu.

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme